*SMAN NEGERI KEBAKKRAMAT *
"KARYA TULIS STUDY TOUR KE KERATON KASUNSNAN SURAKARTA "
SPIRITUALISME DAN
PENINGGALAN BUDAYA JAWA-ISLAM DI KERATON SURAKARTA
logo sekolah
KARYA TULIS
Di susun guna melengkapi dan memenuhi
Salah
satu syarat untuk mengikuti
Ujian akhir semester II
Tahun
pelajaran 2015 / 2016
Di susun oleh:
Nama : Selly Gebrillia
Pitaloka
NIS : 7719
Kelas : XI IPA 1
PEMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
SMA NEGERI
KEBAKKRAMAT
KARANGANYAR
PENGESAHAN
Laporan Karya Tulis Studi Wisata ke” Keraton Surakarta dan BPTO Tawangmanggu” telah disetujui dan disahkan pada
:
Hari :
Tanggal :
Oleh :
Pembimbing II Pembimbing I
Drs Budi Darmasto Dwi Hastuti.S.PAK
NIP.196309141994121002 NIP.196212201989032008
Mengetahui,
Kepala SMA Negeri
Kebakkramat
Karanganyar
Drs Jaka Wismono,MPd.
Pembina Tingkat I
NIP.196309121987031009
MOTTO
1.
Jangan pernah melupakan sejarah.- Ir.Soekarno
2.
Sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam
genggaman tangan beberapa orang, namun informasi di tangan orang banyak. –
John Naisbitt
3.
Jangan pernah mencoba sebelum kamu mengetahui apa
resikonya. – NN
4.
Di dunia ini tidak ada yang turun dari langit dengan
cuma-cuma, semua usaha dan doa. –NN
5.
Jenius adalah 1% inspirasi dan 99% keringat. Tidak
ada yang dapat menggantikan kerja keras. Keberuntungan adalah sesuatu yang
terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. – Thomas Alva Edison
6.
Orang
yg tidak bisa memaafkan org lain sama saja
dgn org yg memutuskan jembatan yang harus dilaluinya -Thomas
Fuller
7.
Manusia
berkembang jika melalui pengalaman hidup yang jujur & berani. Dari sanalah
karakter tertempa -Eleanor Roosevelt
8.
Saat anda melajukan kesalahan ada tiga hal yang
harus anda lakukan mengakui, belajar, dan jangan mengulangi lagi- Anonim
9. Kita
tidak bisa menjadi bijaksana dengan kebijaksanaan orang lain, tapi kita bisa
berpengetahuan dengan pengetahuan orang lain- Michel De Montaigne
10. Kebanggaan
kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali
setiap kali kita jatuh- Confusius
11. Apabila
di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu
kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia
dengan kemajuan selangkah pun- Soekarno
12.Sejarah
adalah produk yang paling membahayakan dalam proses kimia
dalam intelek manusia- Paul Valery
13.Habis gelap
terbitlah terang- Ibu Kartini
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan tepat waktu guna memenuhi
salah satu syarat untuk mengikuti ujian kenaikan kelas XII.
Pada kesempatan kali ini tak
lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Drs Jaka Wismono,MPd. Selaku Kepala Sekolah SMA
NEGRI KEBAKKRAMAT.
2.
Drs.
Budi Darmasto selaku Wakil Kepala sekolah bidang kesiswaan yang telah mendukung
dan mengesahkan karya tulis ini,
3.
Dwi Hastuti.S.PAK.selaku wali kelas XI IPA 1
4.
Orang
tua saya yang telah memberi dukungan dan bantuan material dalam pembuatan karya
tulis ini,
5.
Teman-teman
XI IPA 1 dan
pihak lain yang turut mendukung karya tulis ini.
Berpijak pada pepatah “Tak ada
gading yang tak retak” maka penulis sungguh menyadari atas kekurangan yang
disengaja ataupun tidak disengaja. Maka dari itu penulis mohon kritik dan saran
yang bersifat membangun.
Akhir kata, penulis berharap
semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat memberikan manfaat bagi masyarakat pada umumnya, dan
pembaca pada khususnya.
Kebakkramat,14 Maret 2016
Penulis
Selly
Gebrillia Pitaloka
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
…………………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………... ii
HALAMAN MOTTO ……………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... iv
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………. v
BAB I
PENDAHULUAN
B. Identitas Masalah........................................................................... 2
C. Pembatasan Masalah …………………………………………….. 2
D. Perumusan Masalah ……………………………………………… 3
BAB II METODELOGI PENULISAN
A.
Tujuan Penulisa............................................................................... 4
A.I Tujuan Umum............................................................................4
A.2 Tujuan Khusus..........................................................................5
B.
Waktu dan Tempat Penelitian..........................................................5
C.
Metode Penulisan..........................................................................
7
C.1. Metode Pusataka....................................................................
7
C.2. Metode
Browsing...................................................................
7
C.3. Metode Observasi..................................................................
7
C.4. Metode Interview................................................................... .8
D.
Sistematika Penulisan
.....................................................................8
BAB
III KEHIDUPAN
SOSIAL , EKONOMI DAN BUDAYA
SURAKARTA.................................................................................10
BAB
IV KERATON
SURAKARTA HADININGRAT MERUPAKAN BUKTI SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI TANAH JAWA....................................................................................23
BAB
V PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................... .37
B.
Pesan dan Kesan............................................................................ .38
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALH
Kraton Surakarta merupakan
lambang kelestarian budaya Jawa, sebagai pusat pelestarian adat-istiadat yang diwariskan
secara turun temurun danmasih berlangsung hingga saat ini.
Keraton
Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta.Selama tahun 1680-1745,
Keraton Surakarta Hadiningrat menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam di Jawa
Tengah. Surakarta Hadiningrat dapat diartikan sebagai “negara yang besar dan
gagah berani dan makmur”. Keraton Surakarta Hadiningrat terletak di Kelurahan
Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah.
Perkembangan Islam di Indonesia saat ini dan Jawa pada khususnya tidak dapat dilepaskan dari kerajaan dinasti Mataram.Sejak kerajaan Demak Bintoro pada abad XV.g Hal ini tentu berkaitan dengan peran kraton pada masa itu sebagai pusat kekuasaan politik sekaligus pusat kebudayaan.
Perkembangan Islam di Indonesia saat ini dan Jawa pada khususnya tidak dapat dilepaskan dari kerajaan dinasti Mataram.Sejak kerajaan Demak Bintoro pada abad XV.g Hal ini tentu berkaitan dengan peran kraton pada masa itu sebagai pusat kekuasaan politik sekaligus pusat kebudayaan.
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia mencatat bahwa para
Wali dengan sebutan Wali Songo menjadi pilar utama dalam penyebaran agama Islam
di masyarakat.Dengan mendapat dukungan dan legitimasi dari raja dan para
punggawa (pejabat) kerajaan yang lebih dulu masuk Islam mereka dapat bergerak
leluasa dalam melaksanakan dakwah kepada warga masyarakat.Sejalan dengan itu,
peran keraton Surakarta sebagai dinasti Mataram dalam pengembangan budaya di
Indonesia menarik untuk dikaji.
Berpijak pada sejarah di atas, maka tulisan ini mencoba mengkaji kraton dalam pengembangan budaya Islam di Indonesia baik pada masa dulu maupun masa sekarang.Mengingat berbagai keterbatasan, maka tulisan ini tidak berpretensi untuk mengkaji peran kraton dalam pengembangan Islam secara mendetail dan mendalam melainkan lebih sebagai upaya untuk merenungkan kembali peran kraton dalam pengembangan budaya Jawa-slam.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan di
atas, maka penulis akan mengidentifikasikan beberapa permasalahan, diantaranya:
1.Surakarta memiliki banyak
objek wisata yang bernilai religius, historis, dan
ekonomi yang tinggi.
2.
Keraton Surakarta Hadiningrat adalahlambang
kelestarian budaya peninggalan
sejarah di JawaTengah, Indonesia.
3. Kabupaten Karanganyar kususnya daerah Tawangmanggu memiliki banyak
objek wisata yang bernilai religius,
historis, dan ekonomi yang tinggi.
4. Balai Besar Tanaman Obat Dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) merupakan
salah satu pusat pengembangan
dan budidaya tanaman obat teadisional.
C. PEMBATASAN MASALAH
Agar masalah yang dibahas dapat terfokus,maka perlu adanya pembatasan dalam
penulisan karya tulis ini. Adapun batasan-batasannya antar lain:
1.
Keraton Hadiningrat adalahlambang kelestarian budaya peninggalan
sejarah di Surakarta dan menjadi pesona wisata yang sangat mengagumkan.
2.
Keraton Hadiningrat merupakan keraton yang menjadi pusat
Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah di masa lampau dan memiliki nilai sejarah yang
tinggi.
3.
Ritual adat jawa-islam
di keraton Surakarta.
4.
Peranan keraton
dalam perkembangan islam di jawa
5.
Budaya jawa- islam di Surakarta.
D.PERUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana sejarah islam
dikeraton Surakarta?
B. Apa saja peran keraton
Surakarta dalam pengembangan
Budaya Jawa- Islam ?
C. Apa Budaya Jawa-Islam
Warisan Keraton Surakarta ?
D. Apa jejak Budaya Jawa-Islam
dan ritual-rritual adat yang
Masih dijadikan pada masa kini ?
E. Apa daya tarik keraton
Surakarta ?
BAB II
METODELOGI PENULISAN
A.TUJUAN
PENULISAN
A.1 Tujuan Umum
1. Untuk menumbuhkan rasa kagum
terhadap ciptaan Tuhan YME
sehingga dapat menambah keimanan.
2. Menambah ilmu pengetahuan yang tidak didapat di sekolahan.
3. Untuk mengetahui beragam jenis peningalan sejarah yangberada
di Surakarta.
4. Untuk mengetahui peristiwa sejarah atau asal-usul kejadian
berdirinya suatu bangunan.
5. Membandingkan teori di sekolahan
dengan di lapangan.
6. Menanbah ilmu keagamaan dari sumber sejarah.
7. Untuk mengetahui berbagai jenis tanaman obat yang dapat
tumbuh di Tawangmangu.
8. Untuk mengetahui berbagai sumber daya dan potensi yang
berada di kabupaten Karanganyar
kususnya Tawangmangu.
9.Menumbuhkan rasa cinta tanah air dan nasionlisme.
10. Menambah pengetahuan tentang wawasan lingkukngan sekitar.
11.
Diharapkan dapat menunjang dalam pelaksanaan proses belajar
mengajar.
12.Melihat dan
mengamati secara langsung obyek
wisata sebagai sumber IPTEK.
A.2
Tujuan Khusus
1. Sebagai baha
penulisan karya tulis.
2. Agar siswa
dapat mengenal cara menyusun karya tulis.
3.Menggali dan mengumpulkan data sebagai bahan pelatihan
menyusun kegiatan.
4.Siawa dapat
menyimpulkan pada saat berwisata ke keraton
surakarta dan
Balai Besar Tanaman Obat Dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT) Tawangmangu.
5.Untuk syarat
mengikuti ujian akhir semesterkenaikan kelas XII.
B. WAKTU DAN
TEMPAT PENULISAN
B.1. WAKTU
Karya wisata
ini dilaksanakan sebelum Ujian Akhir Sekolah padahari Minggu- Senin, 14-15 Maret 2016.Penulis berkunjung di beberapa objek wisata yang berada di Surakarta dan Kabupaten
karanganyar.
B.2. TEMPAT PENULISAN
Hari Pertama
Di keraton Surakarta Hdiningrat
Pada hari minggu tanggal 14 Maret 20016 pukul 10.00 WIB penulis bersiap dan
berangkat menuju objek wisata yang pertama di Surakarta yaitu di keraton
sasunanan Surakarta Hdiningrat. Penulis berangkat dari rumah menuju keraton Surakarta dengan sepeda motor.
Perjalanan yang di tempuh kira-kira sekitar 45 menit. Sekitar pukul 11.45 WIB.
Penulis sampai di keraton Surakarta.
Sesampainya disana penulis parkir sepeda motor pada tempat yang telah
disediakan dan bergegas menuju loket untuk membeli tiket masuk museum keraton
Surakarta. Harga tiket masuk ke museum surakarta Rp.10.000,00 perorang. Sebelum
menuju masuk ke dalam museum penulis berfoto dengan dua penjaga pintu keraton yang memakai busana prajurit jawa
lengkap dengan senjata berupa pedang panjang. Untuk dapat berfoto dengan
prajurit tersebut cukup dengan membayar Rp.5.000,00.
Penulis menuju ke dalam museum keraton Surakarta. Di dalam terdapat banyak
peninggalan benda-benda sejarah. Di dalam keraton penulis juga menanyakan
beberapa hal mengenai keraton surakarta dengan mewawancarai abdi dalem
surakarta. Setelah kurang lebih satu jam berkeliling dan sudan mengumpulkan
informasi yang cukup untuk menyusun karya tulis penulis bergegas untuk pulang.
Pukul 12.30 WIB penulis keluar dari museum keraton surakarta dan bergegas untuk
pulang. Pukul 01.15 WIB penulis sampai
di rumah dengan selamat.
Hari Kedua
Di B2P2TOOT Tawangmangu.
Pada hari minggu tanggal 15 Maret 20016 pukul 10.00 WIB penulis bersiap dan
berangkat menuju objek wisata yang kedua di karanganyar tepernya di
Tawangmanggu yaitu Balai Besar Tanaman Obat Dan Obat
Tradisional(B2P2TOOT)Tawangmangu.
Penulis berangkat dari rumah menuju B2P2TOOT dengan naik sepeda
motorbersama beberapa teman. Perjalanan yang di tempuh kira-kira sekitar 90
menit. Sekitar pukul 11.30 WIB Penulis sampai di B2P2TOOT.
Sanggat disayangkan setibanya disana
penulis dan rombongan tidak dapat masuk kedalam B2P2TOOT, di karenakan harus
menggunakan surat penghantar dari sekolahan atau surat ijin dari sekolahan. Penulis
dan rombongan hanya dapat berfoto di depan B2P2TOOT.
Karena tidak di perbolehkan masuk
penulis mencari informasi mengenai B2P2TOOT
dengan mewawancarai sapam penjaga yang berada di depan sekirat 15 menit.
Setelah mendapat cukup informasi mengenai B2P2TOOT penulis dan rombongan
bergegas untuk pulang. Pukul 13.30 penulis dan rombongan sampai di rumah dengan
selamat.
C. METODE
PENULISAN
Dalam
Penyusunan karya tulis ini, Penulis menggunakan beberapa metode.Gunamempermudah
dalam memperoleh data dan informasi.
C.1. Metode Pustaka
Melalui
metode ini,penulis mendapatkan data yang sesuai dengan keadaan
yangsebenarnya dilapangan melalui berbagai sumber tertulis
untuk
mencari
informasi yang dibutuhkan.
C.2. Metode Browsing
Melalui
metode ini,penulis mendapatkan informasi dan data melalui jalur internet gunamenambah data yang diperoleh juga
mendapatkan berbagai gambar yang dapat mendukung dan menambah data untuk
kelengkapan karya tulis ini.
C.3.Metode Observasi
Yaitu metode
yang dilaksanakan dengan mengamati atau melihat secara langsung kejadian,peristiwa
maupun obyek-obyek tertentu yang menjadi bahan Observasi. Biladilihat dari
keterlibatan penulis dalam menggunakan metode ini maka jenis observasi yang di
pakai adalah” CONTROLLEDOBSERVATION” sedangkan kalau dilihat daricara
pengamatan jenis yang dipakai adalah”
PENGAMATAN BERSTRUKTUR”.
C.4.Metode Interview
Yaitu metode
yang dilaksanakan dengan bertanya jawab dan mewawancarai terhadapResponden atau
Informen secara langsungbentuk Interview yang dipakai adalah ”STANDARTDIZED INTERVIEW ”
karena penulis dalam melakukan wawancara denganmenyampaikan
pertanyaan-pertanyaan yang telah direncanakan atau disusun sebelumnya dan pertanyaannya berbentuk ” OPEN INTERVIEW ”
D. SISTEMATIKA
PENULISAN
Sistematika penulisan thesis ini akan disusun menjadi
beberapa bagian yaitu sebagai berikut:
Bab Pertama, berisi tentang pendahuluan. Bab Kedua, berisi tentang
metodelogi penulisan. Bab
ketiga, berisi tentang pembahasan umum mencakup,sosisl budaya dan ekonomi. Bab empat
berisi tenteng pembahasan khusus mencakup keraton Surakarta. Bab lima penutup.
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Rumusan Masalah
BAB II METODOLOGI PENULISAN
A.Tujuan Penulisan
A.1. Tujuan Umum.
A.2. Tujuan Khusus
B. Waktu dan Tempat Penulisan
B.1.Waktu
B.2.Tempat Penulisan
C. Metode Penulisan
C.1. Metode Pustaka
C.2. Metode Browsing
C.3.Metode Observasi
C.4.Metode Interview
D. Sistimatika Penulisan
BAB IIIPembahasan Umum
A.Sejarah kota Surakarta
A.1. Sejarah Kota Surakarta
B. Keadaan alam
kota Surakarta
B.1. Letak
GeografiKota Surakarta
B.2. Demografi
C.BIDANG
EKONOMI
C.1.
Mata Pencharian
D. OBJEK WISATA DI SURAKARTA
E.BIDANG BUDAYA
E.1. Bidang Budaya dan Kesenian
E.2. Bahasa
E.3. Kepercayaan
BAB IVPembahasan Khusus
A.Sejarah islam dikeraton
Surakarta
B. Peran Keraton Surakarta
dalam Pengembangan Budaya
Jawa-Islam
C.Budaya Jawa-Islam Warisan
Keraton Surakarta
D. Jejak Budaya Jawa-Islam dan
Ritual-Rritual Adat Yang Masih
Dijadikan Pada Masa Kini
E. Daya Tarik Keraton Surakarta
BAB VPenutup
A.Kesimpulan
B. Kesan dan Pesan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB
III
KEHIDUPAN SOSIAL , EKONOMI DAN BUDAYA
SURAKARTA
A. SEJARAH
KOTA SURAKARTA
A.1. Sejarah Kota Surakarta
Kota Solo
(Surakarta) merupakan sebuah kota tua yang berumur lebih
dari260 tahun yang sarat dengan peristiwa
sejarah bagi bangsa Indonesia.
KRONOLOGI DAN PROSESI
Cerita bermula
ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung
Mangkuyudo serta Komandan pasukan Belanda J.A.B Van Hohenndorff untuk mencari
lokasi ibukota kerajaan Mataram Islam yang baru. Setelah mempertimbangkan
faktor fisik dan non-fisik akhirnya terpilihlah suatu desa di tepi Sungai
Bengawan yang bernama desa Sala ( 1746 Masehi atau 1671 Jawa ). Sejak saat itu
desa Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang pesat.
Kota
Surakarta pada mulanya adalah wilayah kerajaan Mataram. Kota ini bahkan pernah
menjadi pusat pemerintahan Mataram. Karena adanya Perjanjian Giyanti (13
Februari 1755) menyebabkan Mataram Islam terpecah karena propaganda
kolonialisme Belanda. Kemudian terjadi pemecahan pusat pemerintahan menjadi dua
yaitu pusat pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta. Pemerintahan di Surakarta
terpecah lagi karena Perjanjian Salatiga (1767) menjadi Kasunanan dan
Mangkunegaran.
Pada
tahun 1742, orang-orang Tionghoa memberontak dan melawan kekuasaan Pakubuwana II
yang bertahta di Kartasura sehingga Keraton Kartasura hancur dan Pakubuwana II
menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Dengan Bantuan VOC pemberontakan tersebut
berhasil ditumpas dan Kartasura berhasil direbut kembali. Sebagai ganti ibukota
kerajaan yang telah hancur maka didirikanlah Keraton Baru di Surakarta 20 km ke
arah selatan timur dari Kartasura pada 18 Februari 1745. Peristiwa ini kemudian
dianggap sebagai titik awal didirikannya kraton Kasunanan Surakarta.
Pemberian nama Surakarta Hadiningrat mengikuti naluri leluhur, bahwa
Kerajaan Mataram yang berpusat di Karta, kemudian ke Pleret, lalu pindah ke
Wanakarta, yang kemudian diubah namanya menjadi Kartasura. Surakarta
Hadiningrat berarti harapan akan terciptanya negara yang tata tentrem karta
raharja (teratur tertib aman dan damai), serta harus disertai dengan tekad
dan keberanian menghadapi segala rintangan yang menghadang (sura)
untuk mewujudkan kehidupan dunia yang indah (Hadiningrat). Dengan
demikian, kata “Karta” dimunculkan kembali sebagai wujud permohonan
berkah dari para leluhur pendahulu dan pendirian kerajaan Mataram.
Sejarah nama kota Solo sendiri dikarenakan daerah ini dahulu banyak
ditumbuhi tanaman pohon Sala ( sejenis pohon pinus) seperti yang tertulis dalam
serat Babad Sengkala yang disimpan di Sana Budaya Yogyakarta. Sala berasal dari
bahasa Jawa asli ( lafal bahasa jawa : Solo ) Pada akhirnya orang-orang
mengenalnya dengan nama Kota Solo.
Kesultanan
Mataram yg runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677
ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan
Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan
dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yg mendapat dukungan dari orang-orang
Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yg berpusat di Kartasura itu
mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan
Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yg merupaken sekutu VOC, namun
keadaannya sudah rusak parah.
Akubuwana II yg menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk
membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yg baru.
Bangunan Keraton Kartasura yg sudah hancur & dianggap “tercemar”. Sunan
Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso [bernama kecil Joko
Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I],
bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J. A. B. van
Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yg baru.
Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura,
pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama “Surakarta”
diberikan sebagai nama “wisuda” bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan
keraton ini menurut catatan siapa? menggunakan bahan kayu jati dari kawasan
Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri & kayunya dihanyutkan melalui Bengawan
Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 [atau Rabu
Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya].
Berlakunya Perjanjian Giyanti [13 Februari
1755] menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta,
dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I.
Keraton & kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola
tata kota yg sama dengan Surakarta yg lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga
1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara
keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
B.KEADAAN ALAM
KOTA SURAKARTA
B.1.
Letak Geografi
Kota
Surakarta
Dengan
Luas sekitar 44 Km2, Kota Surakarta terletak diantara 110 45` 15″ – 110 45` 35″
Bujur Timur dan 70` 36″ – 70` 56″ Lintang Selatan.Kota Surakarta dibelah dan
dialiri oleh 3 (tiga) buah Sungai besar yaitu sungai Bengawan Solo, Kali Jenes
dan Kali Pepe.Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal dengan
keelokan panorama serta lalu lintas perdagangannya.
a.Batas Wilayah Kota Surakarta
a. Sebelah Utara adalah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali.
b.Sebelah Timur adalah Kabupaten Sukoharjo
dan Kabupaten
Karangnyar.
c.Sebelah
Barat adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karangnyar.
d.Sebelah selatan adalah Kabupaten Sukoharjo.
b.Keadaan iklim dan cuaca
1.Suhu udara Masimum
Kota Surakarta adalah 32,5 derajad Celsius.
2.Suhu udara minimum adalah 21,9 derajad Celsius. 3.Rata-rata
tekanan udara adalah 1010,9 MBS
Kelembaban udara 75%. 4.Kecepatan angin 4 Knot dengan arah angin 240
derajad. 5.Solo beriklim tropis, sedang musim
penghujan dan kemarau bergantian 6.sepanjang 6 bulan tiap tahunnya.
B.2. Demografi
Kota Surakarta
Keadaan Penduduk
Kota
yang terletak di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 berpenduduk 503.421 jiwa (2010)dan kepadatan
penduduk 13.636/km2, dengan luas kota 44,03 km2Badan
Pusat Statistik menyebutkan jumlah penduduk Kota Solo, Jawa Tengah,
bertambah sekitar 10.000 jiwa selama satu dasawarsa terakhir.
Pada Sensus Penduduk (SP) 2000 penduduk kota itu sebanyak 490.000 jiwa dan pada 2010 naik menjadi 500.642 jiwa, angka pertumbuhan penduduk Solo masih 0,25 persen atau di bawah angka Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,46 persen.
Pada Sensus Penduduk (SP) 2000 penduduk kota itu sebanyak 490.000 jiwa dan pada 2010 naik menjadi 500.642 jiwa, angka pertumbuhan penduduk Solo masih 0,25 persen atau di bawah angka Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,46 persen.
Jika
dibandingkan dengan kota lain di Indonesia , kota Surakarta merupakan kota
terpadat di Jawa Tengah dan ke-8 terpadat di Indonesia, dengan luas wilayah ke
– 13 terkecil, dan populasi terbanyak ke -22 dari 93 kota otonom dan 5 kota
administratif di Indonesia.
C.BIDANG
EKONOMI
C.1. MATA PENCAHRIAN
Kota
Surakarta
Mata pencaharian masyarakat kota Solo sebagian
besar ada dibidang industri dan perdagangan. Solo memiliki beberapa pabrik yang
mempekerjakan karyawan dalam jumlah yang besar antara lainSritex dan Konimex. Selain itu masih ada
banyak pabrik-pabrik lain di zona industri Palur. Industri batik juga menjadi salah satu industri khas Solo.Ada
pun ekonomi masyarakat Solo, mata pencarian terdiri dari petani sendiri,
pekerja tani, usahawan, pekerja industri, pekerja bangunan, pedagang, angkutan,
pensiunan (pesara), dan lain-lain.
D. OBJEK WISATA KOTA SURAKATRA
Surakarta atau Solo juga dikenal
sebagai daerah tujuan wisata yang biasa didatangi oleh wisatawan dari kota-kota
besar. Tujuan wisata utama kota Solo adalah Keraton Surakarta, Keraton Mangkunegaran, dan pasar-pasar
tradisionalnya.
1.
Night Market Ngarsopuro
Pasar
Revitalsiasi Kawasan Ngarsapuran yang berada di Jalan Diponegoro Solo
diiproyeksikan jadi sebuah pasar malam. dengan letaknya yang strategis, antara
Jalan Slamet Riyadi dan Jalan Ronggo warsito , Pasar malam Ngarsapuran bisa
menjadi icon wiasta baru kota bengawan. Nilai lebih pasar malam ini adalah
dekat dengan Pasar Antik Windu Jenar, Pasar Elektronik dan Pura Mangkunegaran.
Night Market Ngarsapura / Ngarsopuro ini, yang buka mulai pukul 17.00 hingga
pukul 22.00 WIB akan dihuni sekitar 344 pedagang yang dipayungi 86 tenda. Satu
tendanya berisi empat pedagang. Namun untuk sementara ini baru berdiri 70 tenda
dengan jumlah pedagang 280 orang. ( suara Merdeka )
2.
Wisata Kuliner Gladag Langen Bogan
Gladag Langen Bogan merupakan Pusat jajanan malam ( wisata kuliner malam )
yang terletak di Jalan Mayor Sunaryo atau sisi selatan benteng Vastenburg.
Merupakan solusi bagi Anda wisatawan khususnya Wisatawan Luar Kota yang singgah
di Kota Solo, tempat ini menjadikan salah satu alternatif Anda untuk mencari
dan menikmati Jajanan Khas Solo.
3.
Benteng Vastenberg
Benteng megah di tengah Kota Bengawan Surakarta ini. Dalam konteks
morfologi perkotaan, benteng itu memiliki peranan penting yakni pusat hubungan
Solo-Semarang. Kota Solo dalam periode XVIII-XIX, sebagai pusat perdagangan dan
ditandai perkembangan kota kolonial. Uniknya, perkembangan ini tercipta dalam
nuansa kekuasaan tradisionalistik Kerajaan Kasunanan Surakarta. Sisa-sisa
artefak yang jadi bukti simbol perkotaan masih dapat ditemukan di sekitar
benteng, di antaranya Gereja St Antonius, bekas gedung Javasche Bank, kantor
pos, rumah Residen, jalan raya poros lurus Solo-Semarang, permukiman Eropa, dan
Societet Harmoni.
Tipologi kota kolonial identik ditengarai adanya sebuah benteng. Belanda
merias kota sejak era Kerajaan Kartasura. Waktu itu, urusan di wilayah
kekuasaan raja pribumi ikut menjadi perhatian Belanda, misalnya keamanan,
perniagaan, permukiman, tata kota dan kebijakan (stelsel). Di utara benteng,
dulu kala digunakan sebagai tempat mangkal kapal-kapal dagang dari segala
penjuru.
Wujud pengendalian, Belanda memfungsikan benteng ini untuk pengawasan
aktivitas orang pribumi dan nonpribumi (Arab, China, dan Eropa). Pembatasan
pembauran atau interaksi berbagai golongan penduduk di Solo menjadi masalah
vital Belanda. Dalam catatan De Graaf, tertulis bahwa sebelum benteng
Vastenberg berdiri, sudah ada benteng yang menjadi sarana pengawasan dan tempat
militer, yakni Benteng Grodenmodenheit. Terbukti, sekitar tiga tahun lalu
ditemukan meriam laras panjang oleh penggali pipa di dekat Telkom.
Residen Belanda bermarkas di kawasan benteng, di bawah komandan Gebernur
Jenderal Belanda di Semarang. Pembentukan sumbu timur-barat adalah wajah dari
jalan raya Solo-Semarang. Tak pelak, semua persoalan di Solo cepat terdengar di
telinga Gebernur Jenderal di Semarang. Contohnya, geger pecinan abad XVIII,
yang diakibatkan orang-orang China mengamuk yang akhirnya dapat teratasi dan
dikejar sampai ke Jawa Timur. Ini tak lain berkat adanya pengawasan dalam
benteng.
Pemetaan atau desain kolonial cukup jelas di Kota Bengawan walau dalam
pengaruh kuat praja kejawen dari simbolisasi Kerajaan Jawa. Sebagai pembuktian,
infrastruktur transportasi rel kereta api jurusan Wonogiri-Solo, di selatan
benteng, mampu memotong konsep praja kejawen yaitu pandangan spiritual raja
dari atas Pergelaran ke arah lurus utara Tugu Pemandengan.
Bila kita menyimak nilai-nilai historis Benteng Vastenberg, sepertinya tak
rela melihat benteng ini rapuh dan rusak. Coba kita menyempatkan melongok ke
dalam benteng, yang kita temukan hanyalah puluhan kambing yang sibuk makan
rerumputan. Memang ironis, hanya benteng di Solo saja yang tergerus punah
karena ulah tangan-tangan jahil, padahal beberapa benteng peninggalan kolonial
Belanda di kota lain sudah menjadi aset wisata dan museum.
4.
Museum Radya Pustaka
Di kota Solo terdapat sebuah museum sejarah dan budaya yang bernama Museum
Radya Pustaka. Museum Radya Pustaka merupakan museum tertua di Indonesia yang
didirikan pada masa pemerintahan Paku Buwono IX tepatnya tanggal 28 oktober
1890 oleh kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV. Raden Adipati Sosrodidingrat
IV adalah patih Pakubuwono IX dan Paku Buwono X.
Pada saat itu museum berada di dalam komplek dalem kepatihan. Untuk lebih
memudahkan diakses oleh lebih banyak orang pada tanggal 1 januari 1913 musim
ini dipindahkan ke lokasinya yang sekarang yaitu di Gedung Museum Radya Pustaka
( kompleks Taman Sriwedari ) jalan Slamet Riyadi. Gedung tersebut dulunya
adalah tempat tinggal Johannes Buseelar, seorang warga negara Belanda.
Museum Radya Pustaka dikelola oleh Yayasan Paheman Radyapustaka Surakarta
dan dibentuk pada tahun 1951. Presidium pertama dibentuk pada tahun 1966 dan
diketahui oleh Go Tik Swan atau juga dikenal dengan nama K.R.T Hardjonago.
5.
Taman Satwa Taru Jurug
Salah satu objek wisata paling populer di Solo adalah Taman Satwa Taru
Jurug ( TSTJ ). TSTJ terletak di bagian timur kota Solo, tepatnya di pinggir
sebelah barat Sungai Bengawan Solo. Apa yang menarik dari TSTJ ini? Yuk kita
tengok taman yang akan menjadi BUMD ini.
Di TSTJ ini terdapat kebun binatang yang dahulu merupakan koleksi kebun
binatang bon raja Sriwedari. Karena perkembangan dan perubahan tata kota kebon
binantang di taman sriwedari dipindah ke Taman Jurug ini. Diantara binatang
yang dipindh tersebut adalah gajah bernama Kiai Anggoro.
Selain itu dini terdapat taman bermain anak atau kids play ground. DI taman
bermain ini para pengunjung yang datang bersama anak-anak bisa menunggang gajah
atau sekedar bermain ayunan dan lain-lain.
Di tengah-tengah taman ini terdapat sebuah danau dimana para pengunjung
bisa mengarunginya dengan menumpangi perahu yang ada. Atau bisa juga memancing
ikan di danau ini.
Acara hiburan yang rutin diadakan pengelola adalah musik campursari dan
dangdut. Acara tahunan yag menjadi andalan TSTJ adalah Grebeg Syawal yang disi
dengan acara larung agung Jaka Tingkir yang menggambarkan perjalanan Jaka
Tingkir mengarungi Sungai Bengawa Solo.
TSTJ buka
setiap hari mulai jam tujuh pagi sampi dengan jam 5 sore. Harga tiket masuk TSTJ
untuk golongan : Anak Rp. 3000,- untuk hari biasa . hari libur harga tiket naik
menjadi Rp. 4000,- . Untuk golongan orang dewasa harga Tiket : Rp. 6000,- untuk
hari biasa dan Rp. 7000,- pada hari libur.
Di bagian utara Taman jurug ini,dahulu merupakan arena balap moto cross.
Pada jaman dahulu pembalap asal bandung, Popo Hartopo, sangat populer di Kota
Solo karena sering berjaya di aren balap moto cross.
Taman jurug ini pertama kali dididirkan dan dikelola Tahun 1975 yang
dikelola oleh PT. Bengawan Permai. namun karena masalah biaya dan pengelolaan
yang tidak profesional sehingga kondisi taman ini sangat memprihatinkan. Hingga
akhirnya Pemkot Solo mengambil alih pengelolaan dan anakn menjadikannya sebagau
BUMD berbentuk PT.
6.
Keraton Kasunanan Surakarta
Karaton
Kasunanan/Karaton Solo Hadiningrat dibangun tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono
11.Di halaman istana terdapat menara Panggung Sanggabuwana yang sering disebut
sebagai tempat bertemu Raja dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan.
Di dalam Karaton terdapat galeri seni dan museum dengan pusaka-pusaka kerajaan,
tempat kereta dan kusirnya, senjata kuno dan keris, serta benda-benda
antik lainnya.
7.
Taman Balekambang
Taman Balekambang
adalah tempat wisata di Solo yang sering digunakan untuk mengisi waktu liburan.
Taman Balekambang yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani ini memiliki luas sekitar
10 hektar. Taman Balekambang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Taman Air Partini
yang digunakan untuk permainan perahu, dan Hutan Partinah yang mempunyai
koleksi berbagai jenis tanaman langka. Taman Balekambang mulai difungsikan
sebagai taman rekreasi dan edukasi sejak tahun 2008.
E.BIDANG BUDAYA
E1. Bidang Budaya
Kesenian
Memiliki bermacam/beragam kebudayaan
atau budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya, sehingga bisa sebagai ciri
khas daerah serta untuk meningkatkan wisata daerah.Hubungan antara seni tradisi dan
kegiatan pariwisata demikian erat. Disatu sisi potensi dan peran seni
pertunjukan tradisional sebagai aset bangsa telah menunjukkan kontribusinya
yang sangat besar dalam kerangka pembangunan pariwisata dan budaya. Disisi
lain, pembangunan pariwisata telah memberikan kontribusi terhadap revitalisasi
seni pertunjukan maupun budaya dengan menyajikan dan mengembangkannya sebagai
daya tarik wisata. Dengan demikian sinergi antara seni budaya tradisional
dengan pariwisata merupakan hubungan timbal balik yang simbiosis.
Setiap
tahun pada tanggal-tanggal tertentu Keraton Surakarta mengadakan berbagai macam
perayaan yang menarik. Perayaan tersebut pelaksanaannya berdasarkan pada
penanggalan Jawa. Perayaan-perayaan tersebut antara lain:
– Kirab Pusaka 1 Suro, Acara ini
diselenggarakan oleh Keraton Surakarta dan Puro Mangkunegaran pada malam hari
menjelang tanggal 1 Suro. Acara ini ditujukan untuk merayakan tahun baru Jawa 1
Suro.
– Sekaten , diadakan setiap bulan Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Pada tanggal 12 Mulud diselenggarakan Grebeg Mulud.
– Grebeg Sudiro, diadakan untuk memperingati Tahun Baru Imlek dengan perpaduan budaya
Tionghoa-Jawa.
– Grebeg Mulud, Diadakan setiap tanggal 12 Mulud untuk memperingati hari Maulud Nabi
Muhammad SAW. Grebeg Mulud merupakan bagian dari perayaan Sekaten.
– Tinggalan Dalem Jumenengan, Diadakan setiap tanggal 2 Ruwah untuk memperingati hari ulang tahun
penobatan raja.
– Grebeg Pasa, grebek ini diadakan untuk merayakan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal.
– Syawalan, mulai diadakan satu hari setelah hari Raya Idul Fitri dan berlangsung
di Taman Satwa Taru Jurug di tepi Bengawan Solo.
– Grebeg Besar, Berlangsung pada hari Idul Adha (tanggal 10 Besar).
– Solo Batik CarnivalKarnaval Batik Solo atau Solo Batik Carnival
sebuah even tahunan yang diadakan
oleh pemerintah Kota Surakarta dengan menggunakan batik sebagai bahan utama
pembuatan kostum.
E2. Bahasa
Bahasa
Indonesia adalah
bahasa resmi, umumnya sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari.Bahasa Jawa
Dialek Solo-Jogja dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar.
E.3 Kepercayaan
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah islam, dikenal sebagai pusat
budaya Jawa, di kota Surakarta terdapat pusat istana kerajaan islam Jawa yang masih berdiri hingga
kini.
Suku minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan.Tionghoa sudah berbaur dengan Suku Jawa, dan banyak di antara mereka yang menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang kental sehari-harinya.
Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa Tengah ditemukan pula komunitas Arab-Indonesia.Mirip dengan komunitas Tionghoa, mereka biasanya bergerak di bidang perdagangan dan jasa.
Di daerah perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula orang Sunda yang sarat akan budaya.
BAB VI
KERATON SURAKARTA
HADININGRAT MERUPAKAN BUKTI SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI TANAH JAWA
A. SEJARAH
ISLAM KERATON SURAKARTA
Keraton
Kasunanan Surakarta Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di
Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13
Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di
Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi,
menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dalam dua wilayah kekuasaan yaitu
Surakarta dan Yogyakarta.Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai
pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun
rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang
bergelar Sunan (demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan)
selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia
Belanda. Latar belakang Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan
Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada
masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat
serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari
orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742.
Kerajaan
Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura
berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura
barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana
II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru
di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru. Bangunan Keraton
Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar".
Sunan
Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko
Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I),
bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van
Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu
dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745,
tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta"
diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini.
Pembangunan keraton ini menurut catatan siapa menggunakan bahan kayu jati dari
kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri dan kayunya dihanyutkan melalui
Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745
(atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta menjadi
pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III.
Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya
Sultan Hamengkubuwana I. Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755,
dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah
Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak
Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I). Naskah Perjanjian Giyanti, Persembahan
tari sakral Bedhaya Ketawang yang membagi dalam Upacara Tingalandalem
Jumenengan wilayah Mataram menjadi dua. Kerajaan Mataram yang berpusat di
Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan
yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang
meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah
ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia
sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron
von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja
keturunan Mataram. Perjanjian Giyanti dan Salatiga Pada tanggal 13 Februari
1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran
Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang
tidak mau berdamai.
Semula Pangeran
Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang
ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua
kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah
Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan
Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu,
negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan
nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana
terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan
Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757
menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan
wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja
Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara.
Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro
pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda
sebagai ganti rugi atas biaya peperangan. Pintu Gerbang Keraton Kasunanan
Surakarta Pendhopo Keraton Kasunanan Surakarta Panggung Sangga Buana Keraton Mangkunegaran
Istana atau Puro Mangkunegaran, tempat kediaman resmi dari Mangkunagoro.
Perjanjian
Giyanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta oleh VOC (Kompeni) pada tahun 1755. Kerajaan Surakarta terpisah
setelah Raden Mas Said terus memberontak pada VOC (Kompeni) dan atas dukungan
Sunan mendirikan kerajaan sendiri pada tahun 1757. Raden Mas Said bergelar
Mangkunegoro I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian
Sungai Pepe (Kali Pepe) di pusat kota yang sekarang bernama Solo.
Keraton Surakarta Hadiningrat adalah
istana Kasunanan Surakarta.Selama tahun 1680-1745, Keraton Surakarta
Hadiningrat menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah. Surakarta
Hadiningrat dapat diartikan sebagai “negara yang besar dan gagah berani dan
makmur”.
Perkembangan Islam di Indonesia saat ini dan Jawa pada khususnya tidak dapat dilepaskan dari kerajaan dinasti Mataram.Sejak kerajaan Demak Bintoro pada abad XV.g Hal ini tentu berkaitan dengan peran kraton pada masa itu sebagai pusat kekuasaan politik sekaligus pusat kebudayaan.
Perkembangan Islam di Indonesia saat ini dan Jawa pada khususnya tidak dapat dilepaskan dari kerajaan dinasti Mataram.Sejak kerajaan Demak Bintoro pada abad XV.g Hal ini tentu berkaitan dengan peran kraton pada masa itu sebagai pusat kekuasaan politik sekaligus pusat kebudayaan.
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia mencatat bahwa para
Wali dengan sebutan Wali Songo menjadi pilar utama dalam penyebaran agama Islam
di masyarakat.Dengan mendapat dukungan dan legitimasi dari raja dan para
punggawa (pejabat) kerajaan yang lebih dulu masuk Islam mereka dapat bergerak
leluasa dalam melaksanakan dakwah kepada warga masyarakat.Sejalan dengan itu,
peran keraton Surakarta sebagai pusat perkembangan islsm di jawa kususnya di
Surakarta.
B. PERAN
KERATON dalam PENGEMBANGAN BUDAYA
JAWA- ISLAM
Kebudayaan
kerajaan dibangun dengan ajaran Islam dengan kebudayaan Jawa.Kerangka bangun
sosial didasarkan pada tiga sentra aktivitas sosial, yakni kraton (istana),
masjid, dan pasar di lingkungan kraton dinasti Mataram.Ketiga penyatuan
nilai-nilai Islam yang universal dengan budaya Jawa yang bersifat lokal.Istana/
kraton adalah pusat aktivitas kekuasaan dan politik; masjid merupakan pusat
aktivitas keagamaan Islam; dan pasar merupakan sentra aktivitas ekonomi.Ketiga
kekuatan tersebut saling berintegrasi satu dengan lainnya sehingga mampu
menjadi pilar utama kejayaan sebuah negara atau kerajaan.Oleh karena itu, peran
kraton dalam pengembangan budaya juga tidak dapat dilepaskan dari fungsi dan
peran ketiga sentra aktivitas sosial tersebut.
Pranata
kehidupan diwujudkan melalui tatanan sosial budaya yang memadukan tradisi agung
Islam dengan tradisi local Jawa.Karena itu, masjid bukan sekedar untuk
menjalankan shalat dan membaca al-Quran, melainkan juga sebagai pusat latihan
olah kanuragan.Demikian pula pendapa keratin juga digunakan sebagai tempat
untuk berdzikir, membaca al-Quran, mengkaji ajaran Islam, di samping arena pagelaran
seni budaya.
Di pihak lain, sejarah perkembanghan Islam di Indonesia mencatat bahwa keberhasilan dan kelancaran dakwah penyebaran agama Islam di Jawa tidak terlepas dari peran para Wali dengan dukungan dan legitimasi dari raja dan para punggawanya. Wali dan raja yang merupakan simbol Ulama’ dan Umara’ pada zaman kerajaan merupakan duet hebat dalam penyebaran agama Islam di Jawa.Kerajaan Demak Bintorolah –kerajaan Islam pertama di Indonesia-- yang membuka jalan pertama atas penyebaran agama Islam oleh para Wali yang mendapat legitimasi raja.
Adalah
sebuah realitas bahwa diterapkannya pendekatan struktural dan kultural merupaka
kunci sukses dakwah penyebaran Islam di Jawa.Pendekatan struktural dilakukan
dengan mengislamkan lebih dulu raja dan kerabatnya itu telah berhasil sejak
zaman pemerintahan kerajaan Demak Bintoro dan terus berlanjut hingga pada
pemerintahan dinasti Mataram.
Selanjutnya,
melihat kondisi masyarakat objek dakwah yang mayoritas sudah memeluk agama
Hindu dan Budha serta animisme dan dinamisme, maka para wali menggunakan
pendekatan kultural yakni melalui seni budaya masyarakat yang hidup pada masa
itu.
Di antaranya melalui pementasan wayang kulit
(purwa) dengan cara mengadopsi cerita wayang Mahabharata dan Ramayana dari
India yang digubah menjadi bernuansa Islami.
Para Wali pada zaman itu menjadi partner bagi raja dalam menjalankan roda pemerintahan.Bahkan, dapat dikatakan kebijakan dan keputusan kraton senantiasa dikonsultasikan oleh raja kepada Wali.
Para Wali pada zaman itu menjadi partner bagi raja dalam menjalankan roda pemerintahan.Bahkan, dapat dikatakan kebijakan dan keputusan kraton senantiasa dikonsultasikan oleh raja kepada Wali.
Berkat
kepiawaian para Wali dalam menerapkan strategi dakwah yang cerdas yakni dengan
pendekatan kultural.
Raja
Mataram sejak awal menyadari akan kedudukannya sebagai satria-pinandhita
sekaligus ratu-pinandhita. Sebagai ratu-sinatriya ia bergelar Senapati Ing
Ngalaga dan sebagai ratu-pinandhita ia bergelar Ngabdur-Rahman Sayyidin
Panatagama Kalipatullah.
Demikianlah
sebagai simbol pusat magis-mitis dan peran besarnya dalam pengembangan Islam,
maka para raja Mataram dan keturunannya memiliki gelar sebagai Sayyidin
Panatagama Kalipatullah (dari kata khalifatullah fil ardhi yang berarti “wakil
Allah di bumi”).Adalah
Hamangku Rat IV (1719-1724) yang pertama kali memakai gelar “Prabu Hamangku Rat
Senapati Ing Ngalaga Ngabdu’ Rahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah”.Gelar itu
menunjukkan kekuasaan raja yang mencakup dunia kasar dengan dunia halus, dunia
materi dengan dunia spiritual sekaligus.
Dampak
dari partisipasi aktif raja membangun sastra Jawa itu besar sekali dalam
pengembangan sastra Jawa di tengah masyarakat.Masyarakat yang sebagian masih
mempercayai raja sebagai tokoh sentral yang serba magis dan mistis, memandang
serat-serat karya para raja sebagai pedoman yang harus diikuti.Bahkan, secara
fisik naskah miliknya dipandang sebagai benda pusaka yang memiliki tuah.Masa
bergairahnya kembali karya sastra Jawa yang kebanyakan bernuansa religius itu
oleh Pigeaud (1967: 7) disebut sebagai Renaissance of Java Literature,
kebangkitan kembali sastra Jawa.
C. BUDAYA JAWA- ISLASM WARISAN KERATON SURAKARTA
Timbulnya antara sastra Jawa dan
nilai Islam yang kemudian melahirkan dua jenis sastra yakni sastra pesantren
dan sastra kejawen Ternyata hegemoni kraton masih terasa kenthal pada ciri
karya sastra abad itu. Terbukti dengan adanya kecenderungan di kalangan
pujangga yang terlalu mengabdikan diri kepada kraton dengan cara saling
berlomba membuat karya sastra dengan muatan yang terlalu meninggikan asal-usul
raja, termasuk nenek moyang raja.
Di pihak lain, sastra Jawa-Islam yang diciptakan oleh pujangga kraton masih sangat berbau Islam-tradisional (dalam konteks sejarah pada masa itu) karena pada hakikatnya muatannya lebih banyak tentang ajaran Islam yang lebih sering ditafsirkan sebagai manunggaling kawula-gusti yang sangat mistis dan sinkretis (Hindu-Jawa-Islam).
Di pihak lain, sastra Jawa-Islam yang diciptakan oleh pujangga kraton masih sangat berbau Islam-tradisional (dalam konteks sejarah pada masa itu) karena pada hakikatnya muatannya lebih banyak tentang ajaran Islam yang lebih sering ditafsirkan sebagai manunggaling kawula-gusti yang sangat mistis dan sinkretis (Hindu-Jawa-Islam).
Hal ini kemudian menjadi dasar dari
dimensi sikap hidup masyarakat.Sikap hidup itu adalah bahwa mengabdi kepada
raja.
Bahkan, pada masa kejayaan Mataram dengan rajanya Sultan
Agung, beliau dipandang sebagai raja besar yang adil, pemurah, sakti, dan
shalih.
Sultan Agung juga dikenal menulis sastra gendhing, sejenis
sastra yang mengandung lagu). Dalam karya sastra gendhing tesebut dikemukakan
perlunya keturunan Mataram untuk mempelajari bahasa dan lagu karena dengan
mendalami bahasa akan dapat membaca karya-karya sastra yang isinya banyak
menfaatnya bagi kehidupan manusia, seperti ajaran agama, moral, budi pekerti,
dan filsafat. Karena sastra bersumber pada ajaran luhur, maka orang yang tidak
memahamai isi karya sastra dilukiskan tidak paham pula cara beribadah yang
baik. Bahkan, diensi Tasawuf terasa kenthal dalam sastra gendhing.Bagi seorang
Muslim, segala perbuatan harus didasarkan pada syariat. Hakikat tanpa syariat
batal dan syariat tanpa hakikat akan hampa.
Karya sastra di lingkungan kraton Surakarta muncul dan semarak ketika terjadi persaingan di bidang sastra sebagai alat untuk meneguhkan kewibawaan raja dengan kraton Kasultanan Yogyakarta.Pakubuwana III kemudian menulis Serat Wiwaha Jarwa, Pakubuwana IV menulis Serat Wulangreh dan Serat Wulangsunu.Para pujangga kraton seperti Yasadipura I dan Yasadipura II menyalin beberapa karya sastra Jawa kuna yang berkaitan dengan pendidikan moral dan mistik.
Kraton Kasunanan Surakarta dalam pengembangan budaya dan pendidikan Islam juga menciptakan puisi-puisi atau tembang-tembang serta gendhing-gendhing yang kemudian dijadikan sebagai media pendidikan moral Islam bagi rakyat.
Demikian pula Pura Mangkunegaran tak kalah komitmennya terhadap kebudayaan Jawa-Islam.Mangkunegara IV misalnya tidak menginginkan sistem kebudayaan Islam masyarakat Jawa saat itu tercemari oleh kebudayaan bangsa asing yang sekuler.Dalam Serat Wedatama yang terkenal terkandung dimensi religius yang berupa nasihat-nasihat mengenai ajaran agama Islam.Dalam Wedatama dikemukakan pentingnya warga masyarakat berpegang teguh kepada agama.
pembangunan kepustakaan Jawa pada masa kerajaan Surakarta
awal dimulai pada masa pemerintahan Pakubuwana III. Pembangunan kepustakaan itu
menyangkut dua kegiatan yakni membangun dan membuat serat-serat baru.Membangun
adalah menyalin serat-serat sastra kuna ke dalam bentuk macapat.
Hal itu dilakukan karena bahasa Jawa Kawi yang digunakan
dalam karya sastra Jawa kuna tidak banyak lagi dipahami oleh orang Jawa
sehingga perlu didsalin ke dalam bahasa Jawa baru.
Pembangunan kepustakaan Jawa pada masa tersebut menghasilkan banyak karya sastra Jawa kuna yang ditulis kembali dalam bahasa Jawa baru oleh Yasadipura I dan Yasadipura II.Kedua pujangga kraton Surakarta itulah yang berjasa dalam pembangunan kepustakaan Jawa.
Pembangunan kepustakaan Jawa pada masa tersebut menghasilkan banyak karya sastra Jawa kuna yang ditulis kembali dalam bahasa Jawa baru oleh Yasadipura I dan Yasadipura II.Kedua pujangga kraton Surakarta itulah yang berjasa dalam pembangunan kepustakaan Jawa.
Keduanya tidak hanya menyalin, melainkan juga menciptaklan
yang baru, antara lain: Serat Bratayudha, Panitisastra, Dewa Ruci, Serat Menak,
Serat Ambia, Tajussalatin, Cebolek, dan Babad Giyanti. Adapun karya Yasadipura
II antara lain: Serat Arjunasasra, Dharmasunya, Bratasunu, Centhini, dan Serat
Sasanasunu.
Dunia sastra Jawa makin semarak
dengan lahirnya karya sastra dari tangan pujangga kraton Surakarta,
Ranggawarsita (cucu Yasadipura II) antara lain: Serat Kalatidha, Sabdatama,
Sabdajati, Sabdapranawa, dan Jaka Lodhang.
Serat Sabdapranawa yang terdiri atas 22 pada (bait) merupakan kritik terhadap demokrasi dalam perubahan kebudayaan masyarakat Jawa abad ke-19. Karena itu, perubahan demikian dikatakan sebagai dikatakan sebagai zaman edan.Ranggawarsita melakukan kritik tajam terhadap praktik-praktik aji mumpung dan korupsi serta besarnya intervensi pemerintahan kolonial terhadap pemerintahan Kasunanan Surakarta.
Serat Sabdapranawa yang terdiri atas 22 pada (bait) merupakan kritik terhadap demokrasi dalam perubahan kebudayaan masyarakat Jawa abad ke-19. Karena itu, perubahan demikian dikatakan sebagai dikatakan sebagai zaman edan.Ranggawarsita melakukan kritik tajam terhadap praktik-praktik aji mumpung dan korupsi serta besarnya intervensi pemerintahan kolonial terhadap pemerintahan Kasunanan Surakarta.
Karya Ranggawarsita yang sangat popular adalah Serat
Kalatidha.Serat ini juga karya kritik yang sangat tajam atas kebijaksanaan
pemerintahan dan perilaku birokrasi yang tidak berdasar pada aturan-aturan
kerajaan yang berlaku.
Turut sertanya para raja yang didukung para pujangga kraton dalam mengembangkan sastra Jawa tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat pada waktu itu.Ketika terjadi krisis politik, ekonomi, dan moral para raja dan pujangga tergerak untuk menegakkan kembali nilai-nilai budaya tradisi yang pernah diajarkan oleh nenek moyang, yang bergeser akibat penetrasi budaya asing (Barat).
Turut sertanya para raja yang didukung para pujangga kraton dalam mengembangkan sastra Jawa tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial politik dan ekonomi masyarakat pada waktu itu.Ketika terjadi krisis politik, ekonomi, dan moral para raja dan pujangga tergerak untuk menegakkan kembali nilai-nilai budaya tradisi yang pernah diajarkan oleh nenek moyang, yang bergeser akibat penetrasi budaya asing (Barat).
Peran utama dalam politik dan ekonomi yang makin merosot dan
terdesak oleh kekuasaan kolonial menyebabkan raja mengalihkan kekuasaannya di
bidang sastra dan budaya melalui karya sastra Jawa.Dengan karya sastra, raja
membangun kembali kewibawaannya sehingga kerajaan lebih banyak berperan sebagai
pusat budaya dan sastra daripada menjadi pusat politik kekuasaan.
Sejalan dengan itu, seperti dinyatakan oleh Kuntowijoyo, bahwa karya sastra merupakan sebuah simbol verbal yang mempunyai peran sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan tentang sesuatu. Karena itu, isi dari karya sastra kraton tidak tertutup kemungkinan bagi pengarangnyauntuk memasukkan gagasan-gagasan pribadi ke dalam karyanya.Dalam konteks ini, dilihat dari isi dan muatannya, karya sastra Jawa pada seputar abad XVIII-XIX juga dipengaruhi oleh kondisi sosial yang ada.
Sejalan dengan itu, seperti dinyatakan oleh Kuntowijoyo, bahwa karya sastra merupakan sebuah simbol verbal yang mempunyai peran sebagai cara pemahaman, cara perhubungan, dan cara penciptaan tentang sesuatu. Karena itu, isi dari karya sastra kraton tidak tertutup kemungkinan bagi pengarangnyauntuk memasukkan gagasan-gagasan pribadi ke dalam karyanya.Dalam konteks ini, dilihat dari isi dan muatannya, karya sastra Jawa pada seputar abad XVIII-XIX juga dipengaruhi oleh kondisi sosial yang ada.
Dampak dari partisipasi aktif raja membangun sastra Jawa itu
besar sekali dalam pengembangan sastra Jawa di tengah masyarakat.Masyarakat
yang sebagian masih mempercayai raja sebagai tokoh sentral, memandang
serat-serat karya para raja sebagai pedoman yang harus diikuti.Bahkan, secara
fisik naskah miliknya dipandang sebagai benda pusaka yang memiliki tuah.Masa
bangkitnya kembali karya sastra Jawa.
D.
JEJAK BUDAYA JAWA-ISLAM
DAN RRITUAL- RITUAL ADAT YANG MASIH DIJALANKAN PADA MASA KINI
Masa terus bergulir dan zaman terus berubah.Demikian pula dengan peran dan eksistensi kraton pada masa-masa awal (abad XVIII-XIX) yang demikian besar dalam pengembangan budaya Islam.Perubahan peran kraton dalam pengembangan budaya Islam terlihat sangat drastis sejak masa-masa awal kemerdekaan.
Dalam hal ini ketika kraton
kehilangan kekuasaan politiknya dengan berdirinya negara kesatuan Republik
Indonesia.Selain semakin minipisnya pandangan magis-mitis raja dan kraton
sebagai pusat kegiatan politik dan budaya, juga semakin mencairnya budaya
keraton di tengah masyarakat.Lebih-lebih ketika masyarakat terutama generasi muda
semakin tinggi pendidikannya, maka pandangan magis-mitis bagi warga masyarakat
terhadap keraton dan segala yang berkaitan dngannya semakin pudar.
Jika ditelusuri masih ada jejak budaya Jawa-Islam pada masyarakat.Hanya saja mungkin sudah sangat jauh berbeda fungsinya.
Jika ditelusuri masih ada jejak budaya Jawa-Islam pada masyarakat.Hanya saja mungkin sudah sangat jauh berbeda fungsinya.
Budaya Jawa-Islam warisan keraton
tersebar dalam masyarakat dalam berbagai genre, baik sastra, seni musik,
pertunjukan, moral, sikap hidup, dan bahasa.Lahirnya banyak karya sastra
Jawa-Islam tidak sulit dilakukan oleh keraton yang memiliki banyak pujangga
yang setia.Mereka siap mengabdikan dirinya untuk berkaya guna mendukung
kehendak raja.Termasuk di dalamnya ketika keraton ingin meneguhkan kewibawaan
raja melalui berbagai karya budaya.
Adapun berbagai budaya Jawa-Islam warisan keraton tersebut kini dapat dirunut jejaknya dalam naskah klasik karya para pujangga keraton, kesenian, ritual magis, benda-benda, dan arsitektur keraton. Beberapa bentuknya antara lain.
Pertama, karya sastra Jawa yang bernuansa Islam karya para raja dan pujangga keraton. Sebut saja misalnya: Babad Tanah Jawi (BTJ) dan sastra gendhing pada pemerintahan Sultan Agung di Mataram; dari tangan Pakubuwana IV misalnya lahir Serat Wulangreh yang amat masyhur. Ada juga karya sastra yang mengalami transformasi dari cerita lain seperti Mahabharata dan Ramayana dari India yang digubah dengan nuansa Islam, misalnya: dari para pujangga keraton Surakarta, Yasadipura I dan Yasadipura II lahir antara lain: Serat Bratayudha, Dewa Ruci; Serat Menak, Serat Ambia, Tajussalatin.
Adapun karya Yasadipura II antara lain: Serat
Arjunasasra, Dharmasunya, Bratasunu, Centhini, dan Serat Sasanasunu. Dunia
sastra Jawa makin semarak dengan lahirnya karya sastra dari tangan
Ranggawarsita (cucu Yasadipura II) antara lain: Serat Kalatidha, Sabdatama,
Sabdajati, Sabdapranawa, dan Jaka Lodhang. Mangkunegara IV melahirkan Serat
Wedatama yang juga sngat masyhur yang berisi piwulang ‘nasihat/ ajaran’ yang
bernuansa religius.
Kedua, seni musik gamelan atau gendhing-gendhing yang syairnya digubah berunsurkan ajaran Islam.Musik Jawa dengan seperangkat gamelan tersebut hingga kini masih banyak disukai oleh masyarakat.
Kedua, seni musik gamelan atau gendhing-gendhing yang syairnya digubah berunsurkan ajaran Islam.Musik Jawa dengan seperangkat gamelan tersebut hingga kini masih banyak disukai oleh masyarakat.
Ritual Sekaten yang hingga kini
masih diminati masyarakat antara lain karena menyuguhkan musik dengan gamelan
keratin dengantembang-tembang bernafaskan Islam dalam rangka memperinagati kelahiran
Nabi Besar Muhammad saw.
Ketiga, proses Islamisasi di tanah Jawa juga dilakukan melalui dakwah kultural/ budaya antara lain dengan musik Laras Madya. Jenis musik ini adalah semacam kelompok musik dengan instrumen berupa kendhang dan rebana besar untuk mengiringi lagu/ syair bahasa Jawa yang berisi ajaran Islam seperti: Mijil, Dandang Gula, Sinom, dan sebagainya.
Ketiga, proses Islamisasi di tanah Jawa juga dilakukan melalui dakwah kultural/ budaya antara lain dengan musik Laras Madya. Jenis musik ini adalah semacam kelompok musik dengan instrumen berupa kendhang dan rebana besar untuk mengiringi lagu/ syair bahasa Jawa yang berisi ajaran Islam seperti: Mijil, Dandang Gula, Sinom, dan sebagainya.
Keempat, upacara ritual kirab pusaka keraton dengan mengelilingi keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran yang dilaksanakan pada momentum hari besar Islam malam tanggal 1 Muharam (Jawa: Syura dari kata ‘Asyura berarti sepuluh, maksudnya tanggal sepuluh Muharam). Meskipun berbau sinkretis Hindu-Jawa-Islam, sebenarnya ritual itu mengandung maksud untuk memperingati Tahun Baru Hijriyah, tanggal 1 Muharam yang penting bagi umat Islam.
Kelima, upacara ritual keagamaan yang masih sangat diminati masyarakat yakni Upacara Garebeg. Garebeg dilaksanakan pada tiga momentum yakni: (1) pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.; (2) pada bakda (hari raya) Syawal/ Syawalan; dan (3) pada bakda Besar (Idul Adha).
Keenam, ritual keagamaan yang masih
memiliki daya tarik luar biasa adalah upacara ritual Sekaten (Syahadatain/ dua
syahadat: kesaksian Tauhid dan Rasul; sumber lain dari kata Sekati, sebuah
perangkat gamelan keraton). Sekaten merupakan perpaduan antara kegiatan dakwah
dan kesenian/ budaya.Perangkat gamelan sekaten dan gendhing-gendhing Sekaten
yang indah menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk datang sehingga dapat
dimanfaatkan untuk berdakwah.
Ketujuh, cerita wayang yang berasal
dari India seperti Mahabharata dan Ramayana dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga bernuansa Islami.Dalam hal ini para Wali memiliki andil besar dalam
menggubah cerita wayang itu.Wayang kulit gubahan wali dimanfaatkan oleh untuk
media dakwah kultural.Dengan pendekatan kultural itu, maka tidak terjadi
konflik horizontal antar-pemeluk agama.
Kedelapan, munculnya istilah-istilah kebahasaan dan perkataan yang sebenarnya berasal dari ajaran Islam atau minimal bernuansa Islam dalam kehidupan masyarakat.Demikian juga ajaran moral, budi pekerti, akhlak yang tinggi dalam masyarakat yang bersumber dari ajaran Islam.Misalnya: dalam Serat Wedatama karya Mangkunegara IV terdapat baris: sinuba sinukerta, mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, yang berarti: “digubah dengan bahasa yang halus dan indah, agar (tercapai) budi pekerti yang berlandaskan ilmu yang tinggi… ”. Ungkapan ini berkaitan dengan sabda Rasulullah “Sebaik-baik orang Mukmin adalah yang terbaik akhlaknya” dan ayat al-Quran: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu dalam beberapa tingkatan.” Masih banyak sekali ungkapan semacam yang dapat digali dalam kehidupan masyarakat.
Kedelapan, munculnya istilah-istilah kebahasaan dan perkataan yang sebenarnya berasal dari ajaran Islam atau minimal bernuansa Islam dalam kehidupan masyarakat.Demikian juga ajaran moral, budi pekerti, akhlak yang tinggi dalam masyarakat yang bersumber dari ajaran Islam.Misalnya: dalam Serat Wedatama karya Mangkunegara IV terdapat baris: sinuba sinukerta, mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, yang berarti: “digubah dengan bahasa yang halus dan indah, agar (tercapai) budi pekerti yang berlandaskan ilmu yang tinggi… ”. Ungkapan ini berkaitan dengan sabda Rasulullah “Sebaik-baik orang Mukmin adalah yang terbaik akhlaknya” dan ayat al-Quran: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu dalam beberapa tingkatan.” Masih banyak sekali ungkapan semacam yang dapat digali dalam kehidupan masyarakat.
E.
DAYA TARIK
KERATON SURAKARTA
Daya tarik keraton surakarta adalah:
1.
Wisata sejarah dan spiritual
2.
Terdapat benda- benda pusaka yang
dianggap memiliki kekuatan magis.
3.
Mengenal budaya jawa-islam.
4.
Terdapat kebo bule kiayi selamet.
5.
Melihat kompleks keraton yang merupakan
istana raja pakubuwono.
6.
Melihat aktivitas abdi dalem.
BAB V
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas maka
dapat dikemukakan simpulan bahwa peran dan eksistensi kraton dalam pengembangan
budaya Islam pada masa lalu demikian besar.Melalui karya sastra dan naskah
klasik, kesenian, upacara ritual, dan budaya keagamaan Islam lainnya, kraton
memiliki peran besar dalam pengembangan Islam di tanah air khususnya di tanah
Jawa.
Budaya Jawa-Islam banyak mengandung kearifan lokal (local genius) yang berkaitan dengan ajaran moral/ budi pekerti, filsafat, mistik, dan agama Islam yang terkadang sulit ditemukan dalam karya budaya lain. Ibarat mozaik-mozaik yang teramat indah, kearifan lokal yang tertutup oleh debu-debu zaman itu mesti disibak dan diungkapkan.Dimensi budaya Jawa-Islam tersebut hingga kini masih banyak teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat meskipun tidak disadari lagi oleh masyarakat bahwa hal itu sebenarnya adalah warisan budaya keraton.Jejak budaya keraton itu dapat dirunut dalam pranata sosial masyarakat.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, maka peran dan eksistensi kraton pada zaman global tentu saja juga berubah.Perkembangan kehidupan global yang menuntut serba realistis, logis, dan ilmiah, menyebabkan berbagai karya budaya kraton yang dulu dipandang magis-mitis mengalami degradasi fungsional.
Budaya Jawa-Islam banyak mengandung kearifan lokal (local genius) yang berkaitan dengan ajaran moral/ budi pekerti, filsafat, mistik, dan agama Islam yang terkadang sulit ditemukan dalam karya budaya lain. Ibarat mozaik-mozaik yang teramat indah, kearifan lokal yang tertutup oleh debu-debu zaman itu mesti disibak dan diungkapkan.Dimensi budaya Jawa-Islam tersebut hingga kini masih banyak teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat meskipun tidak disadari lagi oleh masyarakat bahwa hal itu sebenarnya adalah warisan budaya keraton.Jejak budaya keraton itu dapat dirunut dalam pranata sosial masyarakat.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, maka peran dan eksistensi kraton pada zaman global tentu saja juga berubah.Perkembangan kehidupan global yang menuntut serba realistis, logis, dan ilmiah, menyebabkan berbagai karya budaya kraton yang dulu dipandang magis-mitis mengalami degradasi fungsional.
B.SARAN DAN USUL
v Bagi sekolah
- Sekolah diharapkan mengadakan Study Tour setelah ujian kenaikan kelas atau jauh-jauh hari sebelum ujian kenaikan kelas, agar tidak membebani siswa dalam mengerjakan karya tulis.
- Sekolah sebaiknya dapat memberi keringanan biaya bagi siswa-siswi yang kurang mampu atau kesulitan biaya untuk mengikuti Study Tour sehingga tidak ada siswa-siswi yang tidak bisa mengikuti Study Tour karena kendala biaya.
- Sekolah diharapkan memberi waktu yang lebih lama bagi siswa untuk mengerjakan karya tulis.
v Bagi pemerintah
Kota Surakarta dan Keraton
1.
Pemerintah
diharapkan untuk lebih menjaga dan merawat benda-benda dan situs sejarah yang
merupakan aset beerharga bagi bangsa.
2.
Penanggungjwab
keraton harus lebih memperhatikan dan merawat barang-barang dikeraton.
Benda-benda bersejarah banyak yang usang dan tidak terurus dengan baik.
3.
Bagi pengurus
museum erlu diperhatikan kebersihan di museum keraton yang tampak sanggat
berdebu dan kurangnya pencahayaan yang memadai. Sehingga dapat mengurangi daya
tarik wisatawan.
v Bagi guru
pendamping
- Sebaiknya guru ikut mendampingi dan membimbing bagi siswa melaksanakan study tour di daerah sekitar atau yang tidak ikut stydy tour ke Bali.
- Mengawasi, menasehati, siswa melakukan study tour di sekitar surakarta atau yang tidak ikut ke bali supaya lebih terarah.
v Bagi siswa
1. Siswa
diharapkan tidak hanya memanfaatkan Study
Tour sebagai sarana rekreasi, namun juga sebagai sarana belajar untuk
menambah wawasan.
2. Siswa
diharapkan tertib dan disiplin agar perjalanan Study Tour berjalan lancar.
3. Siswa
diharapkan dapat menjaga sikap selama Study
Tour, serta memperhatikan semua perintah atau peraturan yang berlaku di daerah objek wisata.
4. Siswa
diharapkan dapat menjaga barang-barang berharga dan pribadi masing-masing.
5. Siswa
diharapkan ikut menjaga kebersihan dan kelestarian objek-objek wisata yang
dikunjungi.
6. Siswa
dianjurkan tidak bepergian seorang diri di objek-objek wisata maupun pada waktu
bebas untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
7.
Selama Study
Tour siswa diharapkan pandai-pandai menawar barang sebelum membeli,
karena harga barang-barang relatif mahal
di daerah objek wisata.
B. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M.T. 1990. “Antara Politik
dan Sosiokultural”.Makalah dalam Diskusi LPPM
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta:
Yayasan Untuk Indonesia.
Fananie, M. Zainuddin. 2000. Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif KGPAA
Mangkunegoro I. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Darsiti Soeratman. 2000. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta:
Yayasan Untuk Indonesia.
Fananie, M. Zainuddin. 2000. Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif KGPAA
Mangkunegoro I. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Grunebaum,
Gustave E. von. 1983. Islam Kesatuan dalam Keragaman. Jakarta: Yayasan
Perkhidmatan.
Kayam, Umar. 1997. “Kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Modern sebagai Kesusastraan
Pengabdian” dalam Jawa Majalah Ilmiah dan Kebudayaan Vol. 1. Yogyakarta:
Lembaga Studi Jawa.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Pigeaud, Theodore G. Th. 1967. Literature of Java. Vol. 1 The Hague Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka. 1952. Kepustakaan Jawi. Jakarta-Amsterdam: Djambatan.
Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Rajawali.
Schrieke, B.J.O. 1957. Indonesian Sociological Studies.Selected Writings of B. Schrieke Part
Two. The Hague and Bandung: W. van Hoeven Ltd.
Simuh. 1998. “Kesusastraan Melayu dan Kejawen di Indonesia” dalam Ahmad Tohari dkk.
Sastra dan Budaya Indonesia Islam Nusantara: Dialektika Antarsistem Nilai.
Yogyakarta: SMF Adab IAIN Sunan Kalijaga.
Sudewa, Alex. 1995. Dari Kartasura ke Surakarta. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Suhandjati Sukri, Sri dan Sofwan, Ridin. 2001. Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi
Jawa. Yogyakarta: Media Gama.
Perkhidmatan.
Kayam, Umar. 1997. “Kesusastraan Jawa Kuna dan Jawa Modern sebagai Kesusastraan
Pengabdian” dalam Jawa Majalah Ilmiah dan Kebudayaan Vol. 1. Yogyakarta:
Lembaga Studi Jawa.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Pigeaud, Theodore G. Th. 1967. Literature of Java. Vol. 1 The Hague Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka. 1952. Kepustakaan Jawi. Jakarta-Amsterdam: Djambatan.
Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Rajawali.
Schrieke, B.J.O. 1957. Indonesian Sociological Studies.Selected Writings of B. Schrieke Part
Two. The Hague and Bandung: W. van Hoeven Ltd.
Simuh. 1998. “Kesusastraan Melayu dan Kejawen di Indonesia” dalam Ahmad Tohari dkk.
Sastra dan Budaya Indonesia Islam Nusantara: Dialektika Antarsistem Nilai.
Yogyakarta: SMF Adab IAIN Sunan Kalijaga.
Sudewa, Alex. 1995. Dari Kartasura ke Surakarta. Yogyakarta: Lembaga Studi Asia.
Suhandjati Sukri, Sri dan Sofwan, Ridin. 2001. Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi
Jawa. Yogyakarta: Media Gama.
anonim, 2008. “ Keraton Surakarta
Hadiningrat, Tata Ruang dan Maknanya”. http://www.kamusilmiah.com
(diakses 26 Desember 2010. Pukul 19.35)
anonim, 2010. “ Arsitektur Rumah Adat
Jawa”. http://www.deskontruksi.wordpress.com
(diakses 26 Desember 2010. Pukul 19.45)
anonim, 2008. “ Joglo-Javanologi”
http:// http://www.javanologi.blogspot.com
(diakses 26 Desember 2010. Pukul 19.50
anonim, 2009. “Rumah Adat Jawa” http://www.archipeddy.com (diakses 26
Desember 2010. Pukul 19.55
JB. Baswara, 2009. Pepak Bahasa Jawa.
Solo: CV. Bringin 55
R. Ay Sri Winarti. 2004. Sekilas
Sejarah Keraton. Surakarta: Cendrawasih
LAMPIRAN
KERATON
SURAKARTA












B2P2TOOT TAWANGMANGGU
|
![]() |











Prediksi Togel Sgp Mbah Bonar 11 September 2019 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu hari ini Gabung sekarang dan Dapatkan Potongan Setiap Hari !!!
BalasHapus